Keluarga Berencana adalah diharamkan karena
sebab-sebab tersebut di atas, kecuali dalam keadaan darurat dan dengan alasan
yang benar menurut syariat, maka dalam hal ini para ulama membedakan antara
membatasi keturunan dan mencegah kehamilan atau mengaturnya, sebagai berikut:
Membatasi (jumlah) keturunan: adalah menghentikan kelahiran (secara permanen) setelah keturunan mencapai jumlah tertentu, dengan menggunakan berbagai sarana yang diperkirakan bisa mencegah kehamilan. Tujuannya untuk memperkecil (membatasi) jumlah keturunan dengan menghentikannya setelah (mencapai) jumlah yang ditentukan. (Fatwa Haiati Kibarul ‘Ulama’ (5/114, Majallatul Buhuutsil Islaamiyyah). Lihat juga keterangan syaikh al-’Utsaimin dalam Silsilatu Liqa-aatil Baabil Maftuuh (31/133)).
Membatasi (jumlah) keturunan: adalah menghentikan kelahiran (secara permanen) setelah keturunan mencapai jumlah tertentu, dengan menggunakan berbagai sarana yang diperkirakan bisa mencegah kehamilan. Tujuannya untuk memperkecil (membatasi) jumlah keturunan dengan menghentikannya setelah (mencapai) jumlah yang ditentukan. (Fatwa Haiati Kibarul ‘Ulama’ (5/114, Majallatul Buhuutsil Islaamiyyah). Lihat juga keterangan syaikh al-’Utsaimin dalam Silsilatu Liqa-aatil Baabil Maftuuh (31/133)).
Membatasi keturunan dengan tujuan seperti ini dalam
agama Islam diharamkan secara mutlak, sebagaimana keterangan Lajnah daaimah
yang dipimpin oleh Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz (Fatawal Lajnatid Daaimah,
(9/62) no (1584)), demikian juga Syaikh Muhammad bin Shaleh al-’Utsaimin
(Silsilatu Liqa-aatil Baabil Maftuuh, (31/133)), syaikh Shaleh al-Fauzan
(Al-Muntaqa Min Fatawa al-Fauzan (69/20)) dan Keputusan majelis al Majma’ al
Fiqhil Islami (Majallatul Buhuutsil Islaamiyyah (30/286)). Karena ini bertentangan
dengan tujuan-tujuan agung syariat Islam, seperti yang diterangkan di atas.
Mencegah kehamilan: adalah menggunakan berbagai
sarana yang diperkirakan bisa menghalangi seorang perempuan dari kehamilan,
seperti: al-’Azl (menumpahkan sperma laki-laki di luar vagina), mengonsumsi
obat-obatan (pencegah kehamilan), memasang penghalang dalam vagina, menghindari
hubungan suami istri ketika masa subur, dan yang semisalnya (Fatwa Haiati
Kibarul ‘Ulama’ (5/114 – Majallatul Buhuutsil Islaamiyyah)).
Pencegahan kehamilan seperti ini juga diharamkan
dalam Islam, kecuali jika ada sebab/alasan yang (dibenarkan) dalam syariat.
Syaikh Shaleh al-Fauzan berkata: “Aku tidak menyangka
ada seorang ulama ahli fikih pun yang menghalalkan (membolehkan) mengonsumsi
obat-obatan pencegah kehamilan, kecuali jika ada sebab (yang dibenarkan) dalam
syariat, seperti jika seorang wanita tidak mampu menanggung kehamilan (karena
penyakit), dan (dikhawatirkan) jika dia hamil akan membahayakan kelangsungan
hidupnya. Maka dalam kondisi seperti ini dia (boleh) mengonsumsi obat-obatan
pencegah kehamilan, disebabkan dia tidak (mampu) menanggung kehamilan, karena
kehamilan (dikhawatirkan) akan membahayakan hidupnya, maka dalam kondisi
seperti ini boleh mengonsumsi obat-obatan pencegah kehamilan, karena darurat
(terpaksa)… Adapun mengonsumsi obat-obatan pencegah kehamilan tanpa ada sebab
(yang dibenarkan) dalam syariat, maka ini tidak boleh (diharamkan), karena
kehamilan dan keturunan (adalah perkara yang) diperintahkan dalam Islam (untuk
memperbanyak jumlah kaum muslimin). Maka jika mengonsumsi obat-obatan pencegah
kehamilan itu (bertujuan untuk) menghindari (banyaknya) anak dan karena (ingin)
membatasi (jumlah) keturunan, sebagaimana yang diserukan oleh musuh-musuh
Islam, maka ini diharamkan (dalam Islam), dan tidak ada seorang pun dari ulama
ahli fikih yang diperhitungkan membolehkan hal ini. Adapun para ahli kedokteran
mungkin saja mereka membolehkannya, karena mereka tidak mengetahui hukum-hukum
syariat Islam (al-Muntaqa min fatawa al-Fauzan (89/25)).
Mengatur kehamilan seperti ini -sebagaimana yang
dijelaskan oleh Syaikh Muhammad al-’Utsaimin- boleh dilakukan dengan dua
syarat:
1). Adanya kebutuhan (yang dibenarkan dalam syariat),
seperti jika istri sakit (sehingga) tidak mampu menanggung kehamilan setiap
tahun, atau (kondisi) tubuh istri yang kurus (lemah), atau penyakit-penyakit
lain yang membahayakannya jika dia hamil setiap tahun.
2). Izin dari suami bagi istri (untuk mengatur
kehamilan), karena suami mempunyai hak untuk mendapatkan dan (memperbanyak)
keturunan (Al Fataawal Muhimmah (1/159-160) no. (2764)).
Yang perlu diperhatikan di sini, bahwa kondisi lemah,
payah dan sakit pada wanita hamil atau melahirkan yang dimaksud di sini adalah
lemah/sakit yang melebihi apa yang biasa dialami oleh wanita-wanita hamil dan
melahirkan pada umumnya, sebagaimana yang diterangkan dalam fatwa Lajnah Daimah
(Fatawal Lajnatid Daaimah (19/319) no (1585)). Karena semua wanita yang hamil
dan melahirkan mesti mengalami sakit dan payah, Allah berfirman:
حَمَلَتْهُ
أُمُّهُ كُرْهاً وَوَضَعَتْهُ كُرْهاً
“…Ibunya mengandungnya dengan susah payah dan
melahirkannya dengan susah payah (pula)” (Qs. al-Ahqaaf: 15).
Penggunaan alat kontrasepsi dan obat pencegah hamil
Setelah kita mengetahui bahwa para ulama membolehkan
penggunaan obat pencegah kehamilan dan alat kontrasepsi jika ada sebab yang
dibenarkan dalam syariat, maka dalam menggunakannya harus memperhatikan
beberapa hal berikut:
1) Sebelum menggunakan alat kontrasepsi/obat anti
hamil hendaknya berkonsultasi dengan seorang dokter muslim yang dipercaya
agamanya, sehingga dia tidak gampang membolehkan hal ini, karena hukum asalnya
adalah haram, sebagaimana penjelasan yang lalu. Ini perlu ditekankan karena
tidak semua dokter bisa dipercaya, dan banyak di antara mereka yang dengan
mudah membolehkan pencegahan kehamilan (KB) karena ketidakpahaman terhadap
hukum-hukum syariat Islam, sebagaimana ucapan syaikh Shaleh al-Fauzan di atas.
(Lihat keterangan Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu dalam Khataru Tahdiidin Nasl
(8/16) Muallafaatusy syaikh Muhammad bin Jamil Zainu), dan keputusan Majelis al
Majma’ al Fiqhil Islami dalam Majallatul Buhuutsil Islaamiyyah (30/286))
2) Pilihlah alat kontrasepsi yang tidak membahayakan
kesehatan, atau minimal yang lebih ringan efek sampingnya terhadap kesehatan
(Lihat keterangan Syaikh al-’Utsaimin dalam al-Fatawal Muhimmah (1/160) dan
kitab Buhuutsun Liba’dhin Nawaazilil Fiqhiyyatil Mu’aashirah (28/6)).
3- Usahakanlah memilih alat kontrasepsi yang ketika
memakai/memasangnya tidak mengharuskan terbukanya aurat besar (kemaluan dan
dubur/anus) di hadapan orang yang tidak berhak melihatnya. Karena aurat besar
wanita hukum asalnya hanya boleh dilihat oleh suaminya (Lihat Tafsir
al-Qurthubi (12/205) dan keterangan syaikh al-’Utsaimin dalam Kutubu Wa Rasaa-ilu
Syaikh Muhammad bin Shaleh al-’Utsaimiin (10/175)), adapun selain suaminya
hanya diperbolehkan dalam kondisi yang sangat darurat (terpaksa) dan untuk
keperluan pengobatan (Lihat kitab an-Nazhar Fi Ahkamin Nazhar (hal. 176)
tulisan Imam Ibnul Qaththan al-Faasi, melalui perantaraan kitab Ahkaamul
‘Auraat Linnisaa’ (hal. 85)).