Menurut Fatwa MUI
(hasil komisi fatwa tanggal 13 Juni 1979), Dewan Pimpinan Majelis
Ulama Indonesia memfatwakan sbb :
1. Bayi
tabung dengan sperma clan ovum dari pasangan suami isteri yang sah hukumnya
mubah (boleh), sebab hak ini
termasuk ikhiar berdasarkan kaidahkaidah agama.
2. Bayi tabung dari pasangan suami-isteri dengan
titipan rahim isteri yang lain (misalnya dari isteri
kedua dititipkan pada isteri pertama) hukumnya haram berdasarkan kaidah Sadd
az-zari’ah ( ), sebab hal ini akan menimbulkan masalah yang
rumit dalam kaitannya dengan masalah warisan (khususnya
antara anak yang dilahirkan dengan ibu yang mempunyai
ovum dan ibu yang mengandung kemudian melahirkannya, dan sebaliknya). 3. Bayi tabung dari sperma
yang dibekukan dari suami yang telah meninggal dunia hukumnya
haram berdasarkan kaidah Sadd a z-zari’ah ( ), sebab hal ini akan menimbulkan masala~ yang pelik, baik dalam kaitannya dengan penentuan
nasab maupun dalam kaitannya dengan hal kewarisan.
4. Bayi tabung yang sperma dan ovumnya diambil
dari selain pasangna suami isteri yang sah hukumnya
haram, karena itu statusnya sama dengan hubungan kelamin antar lawan jenis
di luar pernikahan yang sah (zina), dan berdasarkan kaidah Sadd
az-zari’ah ( ), yaitu untuk menghindarkan terjadinya
perbuatan zina sesungguhnya.
Menurut
salah satu putusan fatwa ulama Saudi Arabia, disebutkan bahwa Alim ulama di
lembaga riset pembahasan ilmiyah, fatwa, dakwah dan
bimbingan Islam di Kerajaan Saudi Arabia telah mengeluarkan
fatwa pelarangan praktek bayi tabung. Karena praktek tersebut akan menyebabkan
terbukanya aurat, tersentuhnya kemaluan dan terjamahnya rahim.
Kendatipun mani yang disuntikkan ke rahim wanita tersebut
adalah mani suaminya. Menurut pendapat saya, hendaknya seseorang
ridha dengan keputusan Allah Ta’ala, sebab Dia-lah yang berfirman dalam
kitab-Nya:
Dia menjadikan mandul siapa yang
Dia dikehendaki. (QS. 42:50)
Namun demikian ada fatwa lain yang
dikeluarkan oleh majelis Mujamma’ Fiqih Islami.
Majelis ini menetapkan sebagai
berikut:
Pertama: Lima
perkara berikut ini diharamkan dan terlarang sama sekali, karena dapat mengakibatkan percampuran nasab dan hilangnya hak orang tua serta
perkara-perkara lain yang dikecam oleh syariat.
1. Sperma
yang diambil dari pihak lelaki disemaikan kepada indung telur pihak wanita yang
bukan istrinya kemudian
dicangkokkan ke dalam rahim istrinya.
2. Indung
telur yang diambil dari pihak wanita disemaikan kepada sperma yang diambil dari
pihak lelaki yang bukan suaminya
kemudian dicangkokkan ke dalam rahim si wanita.
3. Sperma dan indung telur yang disemaikan
tersebut diambil dari sepasang suami istri, kemudian
dicangkokkan ke dalam rahim wanita lain yang bersedia mengandung persemaian benih mereka tersebut.
4. Sperma dan
indung telur yang disemaikan berasal dari lelaki dan wanita lain kemudian
dicangkokkan ke dalam rahim si
istri.
5. Sperma dan
indung telur yang disemaikan tersebut diambil dari seorang suami dan
istrinya, kemudian dicangkokkan ke
dalam rahim istrinya yang lain
Kedua: Dua perkara berikut ini
boleh dilakukan jika memang sangat dibutuhkan dan setelah
memastikan keamanan dan keselamatan
yang harus dilakukan, sebagai berikut:
2. Sperma
tersebut diambil dari si suami dan indung telurnya diambil dari istrinya
kemudian
disemaikan dan dicangkokkan ke
dalam rahim istrinya.
3. Sperma si
suami diambil kemudian di suntikkan ke dalam saluran rahim istrinya atau
langsung ke dalam rahim istrinya
untuk disemaikan.
Secara
umum beberapa perkara yang sangat perlu diperhatikan dalam masalah ini adalah
aurat vital si wanita harus tetap terjaga (tertutup) demikian
juga kemungkinan kegagalan proses operasi persemaian
sperma dan indung telur itu sangat perlu diperhitungkan. Demikian pula perlu
diantisipasi kemungkinan terjadinya pelanggaran amanah dari
orang-orang yang lemah iman di rumah-rumah sakit yang
dengan sengaja mengganti sperma ataupun indung telur supaya operasi tersebut berhasil demi mendapatkan materi dunia. Oleh sebab itu dalam
melakukannya perlu kewaspadaan yang ekstra ketat. Wallahu
a’lam. Silakan lihat Mujamma’ Fiqih hal 34. Sementara itu
Syaikh Nashiruddin Al-Albani berpendapat lain, beliau berpendapat sbb : “Tidak boleh, karena
proses pengambilan mani (sel telur wanita) tersebut berkonsekuensi minimalnya
sang dokter (laki-laki) akan melihat aurat wanita lain.
Dan melihat aurat wanita lain (bukan istri sendiri)
hukumnya adalah haram menurut pandangan syariat, sehingga tidak boleh dilakukan
kecuali dalam keadaan darurat. Sementara tidak terbayangkan sama
sekali keadaan darurat yang mengharuskan seorang lelaki
memindahkan maninya ke istrinya dengan cara yang haram ini. Bahkan terkadang berkonsekuensi sang dokter melihat aurat suami wanita
tersebut, dan ini pun tidak boleh.
Lebih
dari itu, menempuh cara ini merupakan sikap taklid terhadap peradaban orang-
orang Barat (kaum kuffar) dalam perkara yang mereka minati atau
(sebaliknya) mereka hindari. Seseorang yang menempuh cara
ini untuk mendapatkan keturunan dikarenakan tidak diberi rizki oleh Allah berupa anak dengan cara alami (yang dianjurkan syariat),
berarti dia tidak ridha dengan takdir dan ketetapan Allah
Subhanahu wa Ta’ala atasnya. Jikalau saja Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam menganjurkan dan membimbing kaum muslimin untuk mencari
rizki berupa usaha dan harta dengan cara yang halal, maka
lebih-lebih lagi tentunya Rasulullah
No comments:
Post a Comment